Kamis, 12 November 2009

Panduan Bercinta Untuk Pengantin Baru

Seorang penulis Miriam Arond adan suaminya Samuel L. Pauker, M.D., yang seorang psikiater melakukan survei pada pasangan yang baru menikah. Hasilnya sebanyak 85% mengalami kesulitan saat bercinta.

Lalu, sebanyak 20% istri mengaku mengalami penurunan gairah seksual. Para istri banyak menganggap seks adalah rasa sakit, dan sulit mencapai orgasme. Selain itu, 1 dari 10 suami mengalami ejakulasi dini dan 1 dari 20 suami mengalami masalah ereksi di awal pernikahan. Padahal sebenarnya pada awal pernikahan kehidupan seks justru akan sangat baik.

"Rasa senang pada pasangan yang baru menikah akan meningkatkan produksi dopamin, yaitu zat kimia dalam otak yang bisa meningkatkan gairah seksual. Saat hubungan sudah stabil, dopamin akan menurun. Tugas pasangan adalah untuk menjaga gairah agar tetap menyala" kata Pat Love, seorang terapis seks seperti VIVAnews kutip dari www.rd.com, Jumat 13 November 2009.

Menurut Barry McCarthy, Ph.D., seorang profesor psikolog dari American University di Washington, mengungkapkan tantangan bagi pasangan yang baru menikah adalah menjaga keseimbangan antara keintiman, keamanan dan kenyamanan masing-masing dengan sentuhan kreativitas dan hal erotis. Saat keintiman seksual sangat kuat, bercinta akan sangat berkualitas dan memiliki peranan 15-20 % dalam hubungan pernikahan.

Saling mengerti satu sama lain dan menjaga agar seks menjadi sebuah hal yang menyenangkan dan bukan beban adalah kunci bagi setiap pasangan. Beberapa ahli mengungkapkan hal yang bisa selalu menghangatkan kehidupan seksual setiap pasangan.

- Saling menyesuaikan
"Saat gairah seks tidak terlalu tinggi seperti pada awal pernikahan pasangan cenderung akan panik dan merasa depresi. Padahal hal tersebut sangat normal dan tugas masing-masing pasangan adalah untuk meningkatkan gairah seksual kembali," kata Dr. Love.

Beberapa bulan setelah pernikahan gairah seksual memang akan menurun tetapi bukan berarti hal itu adalah masalah besar. Anda dan pasangan harus saling menyesuaikan diri dan bekerjasama untuk meningkatkan kembali gairah tersebut.

- Testosteron
Hormon testoteron adalah hormon yang sangat penting dalam menentukan gairah seksual baik pada pria maupun wanita. Menurunnya level testosteron sangat berpengaruh pada gairah seksual. Anda bisa meningkatkan level testoteron dengan mengonsumsi protein, seperti gaging, susu, telur atau suplemen vitamin. Tetapi, selain itu bagi wanita sentuhan, pelukan, ciuman hangat juga sangat dibutuhkan untuk meningkatkan mood bercinta.

- Kenali keinginan pasangan
Cobalah untuk mengetahui keinginan pasangan dan kalau Anda tidak keberatan, ikutilah keinginannya. Buat suasana bercinta selalu berbeda dan tidak monoton. Peningkatan kualitas seks adalah dengan mengetahui keinginan masing-masing dan berusahan memenuhinya. Pengalaman juga akan membuat Anda dan pasangan saling mengerti keinginan tersebut.

Kamis, 29 Oktober 2009

Hari Jum’at itu Istimewa

Saudariku, kabar gembira untuk kita semua bahwa ternyata kita mempunyai hari yang istimewa dalam deretan 7 hari yang kita kenal. Hari itu adalah hari jum’at. Saudariku, hari jum’at memang istimewa namun tidak selayaknya kita berlebihan dalam menanggapinya. Dalam artian, kita mengkhususkan dengan ibadah tertentu misalnya puasa tertentu khusus hari Jum’at, tidak boleh pula mengkhususkan bacaan dzikir, do’a dan membaca surat-surat tertentu pada malam dan hari jum’at kecuali yang disyari’atkan.


Nah artikel kali ini, akan menguraikan beberapa keutamaan-keutamaan serta amalan-amalan yang disyari’atkan pada hari jum’at. Semoga dengan kita memahami keutamaannya, kita bisa lebih bersemangat untuk memaksimalkan dalam melaksanakan amalan-amalan yang disyari’atkan pada hari itu, dan agar bisa meraih keutamaan-keutamaan tersebut.

Keutamaan Hari Jum’at

1. Hari paling utama di dunia

Ada beberapa peristiwa yang terjadi pada hari jum’at ini, antara lain:

* Allah menciptakan Nabi Adam ‘alaihissallam dan mewafatkannya.
* Hari Nabi Adam ‘alaihissallam dimasukkan ke dalam surga.
* Hari Nabi Adam ‘alaihissallam diturunkan dari surga menuju bumi.
* Hari akan terjadinya kiamat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

“Hari paling baik dimana matahari terbit pada hari itu adalah hari jumat, pada hari itu Adam diciptakan, dan pada hari itu pula Adam dimasukkan ke dalam surga, serta diturunkan dari surga, pada hari itu juga kiamat akan terjadi, pada hari tersebut terdapat suatu waktu dimana tidaklah seorang mukmin shalat menghadap Allah mengharapkan kebaikan kecuali Allah akan mengabulkan permintannya.” (HR. Muslim)

2. Hari bagi kaum muslimin

Hari jum’at adalah hari berkumpulnya umt Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masjid-masjid mereka yang besar untuk mengikuti shalat dan sebelumnya mendengarkan dua khutbah jum’at yang berisi wasiat taqwa dan nasehat-nasehat, serta do’a.

Dari Kuzhaifah dan Rabi’i bin Harrasy radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allah menyesatkan orang-orang sebelum kami pada hari jum’at, Yahudi pada hari sabtu, dan Nasrani pada hari ahad, kemudian Allah mendatangkan kami dan memberi petunjuk pada hari jum’at, mereka umat sebelum kami akan menjadi pengikut pada hari kiamat, kami adalah yang terakhir dari penghuni dunia ini dan yang pertama pada hari kiamat yang akan dihakimi sebelum umat yang lain.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah)

3. Hari yang paling mulia dan merupakan penghulu dari hari-hari

Dari Abu Lubabah bin Ibnu Mundzir radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Hari jum’at adalah penghulu hari-hari dan hari yang paling mulia di sisi Allah, hari jum’at ini lebih mulia dari hari raya Idhul Fitri dan Idul Adha di sisi Allah, pada hari jum’at terdapat lima peristiwa, diciptakannya Adam dan diturunkannya ke bumi, pada hari jum’at juga Adam dimatikan, di hari jum’at terdapat waktu yang mana jika seseorang meminta kepada Allah maka akan dikabulkan selama tidak memohon yang haram, dan di hari jum’at pula akan terjadi kiamat, tidaklah seseorang malaikat yang dekat di sisi Allah, di bumi dan di langit kecuali dia dikasihi pada hari jum’at.” (HR. Ahmad)

4. Waktu yang mustajab untuk berdo’a

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hari jum’at lalu beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Di hari jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seseorang muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.” Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu. (HR. Bukhari Muslim)

Namun mengenai penentuan waktu, para ulama berselisih pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut ada 2 pendapat yang paling kuat:

a. Waktu itu dimulai dari duduknya imam sampai pelaksanaan shalat jum’at

Dari Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata padanya, “Apakah engkau telah mendengar ayahmu meriwayatkan hadits dari Rasulullah sehubungan dengan waktu ijaabah pada hari jum’at?” Lalu Abu Burdah mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Yaitu waktu antara duduknya imam sampai shalat dilaksanakan.’” (HR. Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat di atas. Sedangkan Imam As-Suyuthi rahimahullah menentukan waktu yang dimaksud adalah ketika shalat didirikan.

b. Batas akhir dari waktu tersebut hingga setelah ‘ashar

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari jum’at itu dua belas jam. Tidak ada seorang muslimpun yang memohon sesuatu kepada Allah dalam waktu tersebut melainkan akan dikabulkan oleh Allah. Maka peganglah erat-erat (ingatlah bahwa) akhir dari waktu tersebut jatuh setelah ‘ashar.” (HR. Abu Dawud)

Dan yang menguatkan pendapat kedua ini adalah Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, beliau mengatakn bahwa, “Ini adalah pendapat yang dipegang oleh kebanyakan generasi salaf dan banyak sekali hadits-hadits mengenainya.”

5. Dosa-dosanya diampuni antara jum’at tersebut dengan jum’at sebelumnya

Dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidaklah seseorang mandi pada hari jum’at dan bersuci semampunya, berminyak dengan minyak, atau mengoleskan minyak wangi dari rumahnya, kemudian keluar (menuju masjid), dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia mendirikan shalat yang sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan (dengan seksama) ketika imam berkhutbah melainkan akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara jum’at tersebut dan jum’at berikutnya.” (HR. Bukhari)

Amalan-Amalan yang Disyari’atkan pada Hari Jum’at

1. Memperbanyak shalawat

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Perbanyaklah shalawat kepadaku setiap hari jum’at karena shalawatnya umatku akan dipersembahkan untukku pada hari jum’at, maka barangsiapa yang paling banyak bershalawat kepadaku, dia akan paling dekat derajatnya denganku.” (HR. Baihaqi dengan sanad shahih)

2. Membaca surat Al Kahfi

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari jum’at akan diberikan cahaya baginya diantara dua jum’at.” (HR. Al Hakim dan Baihaqi dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

3. Memperbanyak do’a (HR Abu Daud poin 4b.)

4. Amalan-amalan shalat jum’at (wajib bagi laki-laki)

* Mandi, bersiwak, dan memakai wangi-wangian.
* Berpagi-pagi menuju tempat shalat jum’at.
* Diam mendengarkan khatib berkhutbah.
* Memakai pakaian yang terbaik.
* Melakukan shalat sunnah selama imam belum naik ke atas mimbar.

Saudariku, setelah membaca artikel tersebut semoga kita bisa mendapat manfaat yang lebih besar dengan menambah amalan-amalan ibadah yang disyari’atkan. Sungguh begitu banyak jalan agar kita bisa meraup pahala sebanyak-banyaknya sebagai bekal perjalanan kita di akhirat kelak. Wallahu a’lam.

Tips Menghindari Perubahan Warna pada Gigi

Warna gigi yang putih bersih bisa rusak karena kebiasaan dan makanan atau minuman yang kita konsumsi. Tentunya sebagai wanita, Anda tidak ingin warna menjadi kekuningan, atau bahkan kehitaman, kan?

Ada beberapa makanan dan minuman yang jika dibiarkan menempel lama di gigi bisa memicu perubahan warnanya. Jadi, sebaiknya Anda langsung sikat gigi atau setidaknya berkumur setelah mengonsumsi makanan atau minuman berikut.

1. Kopi, soda, wine. Ketiga minuman tersebut memiliki warna yang pekat dan jika tidak langsung dibersihkan bisa meninggalkan noda pada gigi. Jadi pastikan setelah meminumnya, Anda segera menyikat gigi atau minimal berkumur.

2. Rokok. Tidak hanya berefek pada kesehatan Anda, rokok juga membuat gigi menjadi lebih kuning. Nikotin akan meninggalkan noda coklat pada gigi. Buruknya lagi noda tersebut permanen dan sulit untuk dihilangkan.

3. Makan menjelang waktu tidur. Usahakan jangan makan menjelang waktu tidur. Tidak hanya berpengaruh pada berat badan tetapi juga membuat warna gigi menjadi lebih gelap. Hal itu karena produksi air liur menurun, dan sisa makanan yang tertinggal tidak bisa dibersihkan secara maksimal.

4. Teh. Meskipun memiliki manfaat yang sangat baik bagi kesehatan tetapi teh bisa meninggalkan noda pada gigi. Terutama bagi Anda suka minum teh setiap hari. Untuk menghindarinya, setelah selesai minum teh usahakan untuk berkumur-kumur.

Rabu, 28 Oktober 2009

Antara Berbakti kepada Orang Tua dan Taat kepada Suami

Memilih antara menuruti keinginan suami atau tunduk kepada perintah orangtua merupakan dilema yang banyak dialami kaum wanita yang telah menikah. Bagaimana Islam mendudukkan perkara ini?

Seorang wanita apabila telah menikah maka suaminya lebih berhak terhadap dirinya daripada kedua orangtuanya. Sehingga ia lebih wajib menaati suaminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ

“Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) dikarenakan Allah telah memelihara mereka…” (An-Nisa’: 34)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:

الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ

“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang shalihah. Bila engkau memandangnya, ia menggembirakan (menyenangkan)mu. Bila engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila engkau bepergian meninggalkannya, ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga hartamu1.”

Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan2.”

Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا رَاضٍ عَنْهَا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ

“Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha kepadanya niscaya ia akan masuk surga.”

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan3.”

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan4.” Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya:

لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ، لِمَا جَعَلَ اللهُ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحُقُوْقِ

“…niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suami mereka dikarenakan kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah bebankan atas mereka.”5

Dalam Al-Musnad dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَاَّلذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قَرْحَةً تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلحسَتْهُ مَا أَدّّتْ حَقَّهُ

“Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap suaminya lalu menjilati luka/borok tersebut niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.”6

Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibni Majah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ تَنْقُلَ مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ، وَمِنْ جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكاَنَ لَهَا أَنْ تَفْعَلَ

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Seandainya seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah dari gunung merah menuju gunung hitam dan dari gunung hitam menuju gunung merah maka si istri harus melakukannya.”7

Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibni Majah, dan Shahih Ibni Hibban dari Abdullah ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

لمَاَّ قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّام ِسَجَدَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: مَا هذَا يَا مُعَاذُ؟ قَالَ: أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَجَدْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ تَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ .فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ تَفْعَلُوا ذَلِكَ، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأََلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ

Tatkala Mu’adz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menegur Mu’adz, “Apa yang kau lakukan ini, wahai Mu’adz?”
Mu’adz menjawab, “Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan engkau lakukan hal itu, karena sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang istri tidaklah menunaikan hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak boleh menolaknya8.”

Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا رَجُلٍ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَلَوْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ

“Suami mana saja yang memanggil istrinya untuk memenuhi hajatnya9 maka si istri harus/wajib mendatanginya (memenuhi panggilannya) walaupun ia sedang memanggang roti di atas tungku api.”

Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Shahih-nya dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan10.”

Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْئَ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri menolak untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan marah kepada istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri sampai ia berada di pagi hari.”11
Hadits-hadits dalam masalah ini banyak sekali dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suami adalah tuan (bagi istrinya) sebagaimana tersebut dalam Kitabullah.” Lalu ia membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ

“Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu.” (Yusuf: 25)

Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nikah itu adalah perbudakan. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat/memerhatikan kepada siapa ia memperbudakkan anak perempuannya.”

Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ

“Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para wanita/istri karena mereka itu hanyalah tawanan di sisi kalian.”12

Dengan demikian seorang istri di sisi suaminya diserupakan dengan budak dan tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya baik ayahnya yang memerintahkannya untuk keluar, ataukah ibunya, atau selain kedua orangtuanya, menurut kesepakatan para imam.

Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasan/hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara istrinya, sementara ayah si istri melarang si istri tersebut untuk menuruti/menaati suami pindah ke tempat lain, maka si istri wajib menaati suaminya, bukannya menuruti kedua orangtuanya. Karena kedua orangtuanya telah berbuat zalim. Tidak sepantasnya keduanya melarang si wanita untuk menaati suaminya. Tidak boleh pula bagi si wanita menaati ibunya bila si ibu memerintahnya untuk minta khulu’ kepada suaminya atau membuat suaminya bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya. Misalnya dengan menuntut suaminya agar memberi nafkah dan pakaian (melebihi kemampuan suami) dan meminta mahar yang berlebihan13, dengan tujuan agar si suami menceraikannya. Tidak boleh bagi si wanita untuk menaati salah satu dari kedua orangtuanya agar meminta cerai kepada suaminya, bila ternyata suaminya seorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam urusan istrinya. Dalam kitab Sunan yang empat14 dan Shahih Ibnu Abi Hatim dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس َفَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

“Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa15 maka haram baginya mencium wanginya surga.”16

Dalam hadits yang lain:

الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ

“Istri-istri yang minta khulu’17 dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu wanita-wanita munafik.”18

Adapun bila kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya memerintahkannya dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, misalnya ia diperintah untuk menjaga shalatnya, jujur dalam berucap, menunaikan amanah dan melarangnya dari membuang-buang harta dan bersikap boros serta yang semisalnya dari perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan atau yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikerjakan, maka wajib baginya untuk menaati keduanya dalam perkara tersebut. Seandainya pun yang menyuruh dia untuk melakukan ketaatan itu bukan kedua orangtuanya maka ia harus taat. Apalagi bila perintah tersebut dari kedua orangtuanya.

Apabila suaminya melarangnya dari mengerjakan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan atau sebaliknya menyuruh dia mengerjakan perbuatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang maka tidak ada kewajiban baginya untuk taat kepada suaminya dalam perkara tersebut. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.”19

Bahkan seorang tuan (ataupun raja) andai memerintahkan budaknya (ataupun rakyatnya/orang yang dipimpinnya) dalam perkara maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak boleh bagi budak tersebut menaati tuannya dalam perkara maksiat. Lalu bagaimana mungkin dibolehkan bagi seorang istri menaati suaminya atau salah satu dari kedua orangtuanya dalam perkara maksiat? Karena kebaikan itu seluruhnya dalam menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebaliknya kejelekan itu seluruhnya dalam bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu’atul Fatawa, 16/381-383). Wallahu a’lam bish-shawab.

Catatan kaki:

1 HR. Ahmad (2/168) dan Muslim (no. 3628), namun hanya sampai pada lafadz:

الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.”
Selebihnya adalah riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (2/251, 432, 438) dan An-Nasa’i. Demikian pula Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

قِيْلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ النِّساَءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَلَا فِي مَالِهِ بِمَا يَكْرَهُ

Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wanita (istri) yang bagaimanakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Yang menyenangkan suaminya bila suaminya memandangnya, yang menaati suaminya bila suaminya memerintahnya, dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara dirinya dan tidak pula pada harta suaminya dengan apa yang dibenci suaminya.” (Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa’ul Ghalil no. 1786)
2 Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 660.
3 HR. At-Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854, didhaifkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’if Sunan At-Tirmidzi dan Dhaif Sunan Ibni Majah.
4 HR. At-Tirmidzi no. 1159 dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, “Hasan Shahih.”
5 HR. Abu Dawud no. 2140, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
6 HR. Ahmad (3/159), dishahihkan Al-Haitsami (4/9), Al-Mundziri (3/55), dan Abu Nu’aim dalam Ad-Dala’il (137). Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad (10/513), cet. Darul Hadits, Al-Qahirah.
7 HR. Ahmad (6/76) dan Ibnu Majah no. 1852, didhaifkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’if Sunan Ibni Majah.
8 HR. Ahmad (4/381) dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah, “Hasan Shahih.” Lihat pula Ash-Shahihah no. 1203.
9 Kinayah dari jima’. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ar-Radha’, bab Ma Ja’a fi Haqqiz Zauj alal Mar’ati)
10 HR. At-Tirmidzi no. 1160 dan Ibnu Hibban no. 1295 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 3257 dan Ash-Shahihah no. 1202.
11 HR. Al-Bukhari no. 5193.
12 HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah.
13 Misalnya maharnya tidak tunai diberikan oleh sang suami saat akad namun masih hutang, dan dijanjikan di waktu mendatang setelah pernikahan.
14 Yaitu Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.
15 Lafadz: ((مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس)) maksudnya tanpa ada kesempitan yang memaksanya untuk meminta pisah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
16 HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud no. 2226, Ibnu Majah no. 2055, dan Ibnu Hibban no. 1320 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, dll.
17 Tanpa ada alasan yang menyempitkannya. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
18 HR. Ahmad 2/414 dan Tirmidzi no. 1186, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Tirmidzi, Ash-Shahihah no. 633, dan Al-Misykat no. 3290. Mereka adalah wanita munafik yaitu bermaksiat secara batin, adapun secara zahir menampakkan ketaatan. Ath-Thibi berkata, “Hal ini dalam rangka mubalaghah (berlebih-lebihan/sangat) dalam mencerca perbuatan demikian.” (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
19 HR. Ahmad 1/131, kata Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam ta’liqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad, “Isnadnya shahih.”

Indonesia Lokasi 'Atlantis yang Hilang

Keberadaan Atlantis, kota berperadaban tinggi yang hilang ditelan bencana dahsyat, masih diselimuti misteri.

Spekulasi baru soal keberadaan 'Atlantis yang hilang' diungkapkan oleh seorang ilmuwan asal Brazil, Arysio Santos. Santos adalah profesor Fisika Nuklir di Brazil.

Dalam bukunya berjudul “Atlantis the Lost Continents Finally Found”, Santos menyebut Indonesia sebagai lokasi Atlantis, berdasarkan definisi yang disebut Plato dalam 'Lost Civilization'.

Dalam wawancara yang dimuat laman YouTube, Santos tanpa ragu mengatakan bahwa Atlantis benar-benar ada dan bukan sekedar mitos.

Santos menjelaskan mengapa selama ini para ilmuwan gagal menemukan Atlantis dan bahkan ragu akan keberadaan kota yang hilang itu.

"Karena mereka mencarinya di tempat yang salah. Mereka mencarinya di Laut Atlantis," kata dia dalam wawancara di YouTube, seperti dimuat laman Hubpages.

Anggapan bahwa Atlantis berada di Samudera Atlantis, memang logis. Namun, itu bukan lokasi yang tepat.

"Atlantis berada di Lautan Hindia [Indonesia], di belahan lain bumi," kata dia. Di belahan bumi timur itulah, peradaban bermula.

Namun, kata dia, Samudera Hindia atau Laut China Selatan sebagai lokasi Atlantis hanya batasan. "Lebih pastinya di Indonesia," kata dia.

Sebelum jaman es berakhir 30.000 sampai 11.000 tahun lalu, di Indonesia terdapat daratan besar. Saat itu permukaan laut 150 meter lebih rendah dari yang ada saat ini.

Di lokasi itulah tempat adanya peradaban. Sementara, sisa bumi dari Asia Utara, Eropa, dan Amerika Utara masih diselimuti es.

Hukum Wasiat Seorang Muslim Kepada Orang Kafir Dan Orang Kafir Kepada Seorang Muslim

Apa hukum wasiat seorang muslim kepada orang kafir dengan memberikan kepadanya kurang dari sepertiga dari hartanya dan bagaimana pula jika sebaliknya. Apakah boleh seorang muslim menerima harta dari orang kafir bila dia berwasiat demikian.?
Alhamdulillah.
Para fuqoha kaum muslimin dari kalangan Hanafiah dan Hanabilah serta kebanyakan Syafi'iyah telah sepakat tentang sahnya wasiat dari seorang muslim kepada kafir dzimmy atau dari kafir dzimmy kepada seorang muslim dengan syarat wasiat syar'iyyah. Mereka berhujjah dengan firman Allah:
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu dalam urusan ad dien (agama) dan tidak mengusir kamu dari negeri-negeri kamu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil." (Q.S. Al Mumtahanah : 8).
Karena kekufuran tidak menghapuskan hak memiliki sebagaimana boleh pula seorang kafir berjual beli dan hibah, demikian pula wasiatnya.
Sebagian ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa hanya sah kepada sorang dzimmy bila ditentukan orangnya seperti kalau dia mengatakan: "Saya berwasiat untuk si Fulan." Tapi kalau dia mengatakan: "Saya berwasiat untuk Yahudi atau Nashara", maka tidaklah sah karena dia telah menjadikan kekafiran sebagai pembawa wasiat.
Adapun Malikiyah maka mereka menyetujui orang-orang yang menyatakan sahnya wasiat seorang dzimmy kepada orang muslim. Adapun wasiat seorang muslim kepada seorang dzimmy maka Ibnul Qosim dan Asyhab berpendapat boleh apabila dalam rangka silaturahim karena termasuk kerabat kalau bukan maka hukumnya makruh karena tidak akan berwasiat kepada orang kafir dengan membiarkan orang muslim kecuali seorang muslim yang sakit imannya. (Al-Maushu'ah Al-Fiqhiyah 2/312).
Zaman sekarang ini amat disayangkan kita melihat sebagian kaum muslimin khususnya yang tinggal di negeri kafir mewasiatkan hartanya dengan jumlah yang banyak kepada lembaga-lembaga Nasrani atau Yahudi atau lembaga kafir yang lainnya dengan alasan bahwa mereka adalah lembaga-lembaga sosial atau pendidikan, atau kemanusiaan atau sejenisnya yang tidak bisa dimanfaatkan oleh kaum muslimin dan tidak ada yang bisa memanfaatkan harta tersebut kecuali orang-orang kafir dan membiarkan saudara-saudara mereka sesama muslim yang teraniaya, terlantar serta kelaparan di dunia tanpa bantuan dan pertolongan. Ini adalah merupakan kelemahan iman dan termasuk tanda-tanda terkikisnya iman juga merupakan bukti loyalnya kepada orang-orang kafir serta masyarakatnya yang kafir serta wujud rasa kagum kepada mereka. Kita mohon keselamatan dan kesehatan kepada Allah dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam .

tomi dicky prasetyo